Pelangi di Malam Hari
Dikala sang surya telah menyembunyikan sinarnya, saat senja mulai
datng menyapa, ketika langit telah berubah menjadi hitam. Aku berjalan pelan
menuju bandara. Daun-daun yang tertiup angin seolah melambai padaku. Mengucapkan
selamat tinggal kepada orang tuaku yang akan pergi keluar kota. Rasa cemas dan
khawatir menyelimutiku. Berat rasanya untuk melepas mereka pergi. Karena selama
ini merekalah yang menjagaku dan kakakku di rumah. Merawat dan mendidikku penuh
dengan kasih sayang.
Tak lama setelah kami tiba disana, pesawat pun tiba waktunya untuk
berangkat. Sejenak aku memeluk orang tuaku karena itu merupakan pelukan untuk
yang terakhir kalinya sebelum mereka kembali 2 tahun kemudian. Aku dan kakakku
melambaikan tangan kami pada pesawat tersebut. Satu amanat yang tak pernah
kulupa dan selalu kuingat dari ibuku yaitu ibuku pernah berkata, “Zea, jagalah
kakakmu selama ibu dan ayah pergi ! dan kamu Leda, jagalah juga adikmu ya !”
Akupun berjanji akan menjalankan amanat tersebut.
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah. Memang hari itu wajahku
terlihat murung dan tak seceria biasanya. Karena aku masih memikirkan keadaan
orang tuaku yang telah jauh dariku. Aku yang biasanya dimanja, sekarang harus
hidup sendiri hanya bersama dengan kakakku. Entah seberapa lama aku melamun
pada saat itu hingga tanpa kusadari aku menginjak buku berwarna cokelat milik
kakak kelasku yang sedang terjatuh di hadapanku. Aku merasa bersalah dan sangat
malu. Apalagi itu adalah buku milik Kak Maurer. Orang yang aku suka semenjak
aku berada di kelas X. Ia satu-satunya orang yang mampu membuatku merubah
penampilanku yang awalnya sangat kuno menjadi lebih baik. Namun kurasa perasaan
itu hanya sia-sia. Karena ia selalu menghindar dariku dan tanpa aku ketahui apa
penyebabnya. “Astaga ! Maafkan aku kak Maurer !” ucap maafku padanya. “Tidak
masalah, Zea !” jawab Maurer dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja. Seperti
yang kuduga, ia selalu saja menghindar dariku. Padahal ia tidak tau bahwa aku
menyukainya. Yang ia tau aku hanyalah suka terhadap artis Korea tampan dan
terkenal yang bernama Hyungsik.
Saat pulang sekolah, aku berjalan pulang bersama kakakku. Karena
jarak rumahku dengan sekolah tidaklah jauh. Saat itu aku juga bertemu dengan
Maurer yang berjalan di depanku. Akupun menghampirinya karena aku ingin
mengembalikan selembar kertas yang masih tertinggal dari bukunya ketika
terjatuh tadi. Namun sebelum kukembalikan kertas itu, aku sempat membacanya. Dan
isinya adalah brosur tentang acara pertemuan idola Hyungsik yang akan
diselenggarakan pada 2 bulan yang akan datang. Aku berniat mengikutinya karena acara
itu memang hanya satu kali dalam satu Negara. “Kak Maurer” sapaku sembari
memberikan kertas miliknya tadi. “Oh kertas ini ? Terimakasih Zea !” jawab
Maurer sembari memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya. Dan seperti biasa,
ia langsung pergi sambil berlari pelan meninggalkanku dan menaiki minibus yang
melintas di depannya. “Zea, mengapa Maurer selalu menghindar darimu ?” tanya
kakakku. “Aku tidak tau kak ! Jika aku mempunyai satu saja kesempatan untuk
bersamanya, aku akan sangat bahagia. Karna untuk bersamanya sangatlah sulit.” Jawabku.
“Sabar Zea ! Mungkin memang belum saatnya.” Ucap kakakku sembari menepuk
pundakku dengan maksud untuk menenangkanku.
Pada keesokan paginya, saat sang surya mulai menampakkan sinarnya,
ketika embun pagi membasahi dunia, dikala angin malam telah sirna. Aku
berangkat ke sekolah bersama kakak tercintaku. Walaupun aku tau hari itu masih
pagi, namun aku sudah berada di kelasku. Hari itu aku berangkat paling awal. Dan
masih sangat sedikit temanku yang sudah tiba di sekolah. Di dalam kelas yang
berwarna biru itu, aku hanya terdiam merenung sembari memainkan beberapa helai
rambutku dengan memutarnya tak berarti. Sebelum tiba di sekolah, aku sempat
membeli buku bergambar pelangi yang akan kuberikan kepada Maurer sebagai
permintaan maafku padanya. Karena kurasa bukunya telah rusak setelah aku injak
kemarin. Aku berharap agar Maurer bersedia menerimanya meskipun buku yang
kubeli tak seindah buku miliknya tadi.
Sepucuk surat kutulis diantara halaman bukuu tersebut. Aku
menuliskan permintaan maafku padanya dan memberinya semangat untuk selalu
tersenyum dalam melewati hari demi hari yang melelahkan. Seperti halnya pelangi
yang selalu terlihat cerah meskipun pada saat langit mendung. Pelangi
menggambarkan keceriaan dan kebahagiaan seseorang setelah mengalami cobaan yang
begitu berat. Karena akhir-akhir ini Maurer sering terlihat murung dan wajahnya
terlihat pucat.
Hari itu sekolah berakhir pada sore hari. Hujan turun membasahi
bumi dan seluruh isinya. Begitu pun sekolah ini juga ikut basah. Aku mencari
tempat untuk berteduh agar aman dari aire hujan. Tanpa kusadari, aku dan Maurer
berteduh pada tempat yang sama. Sejenak ia menatapku dan aku memberikan buku
tadi untuknya. “Sebagai permintaan maafku padamu, aku ingin mengganti buku ini
tak sebagus milikmu, tapi aku harap kau mau menerimanya” ucapku pada Maurer
sembari memberikan buku itu padanya. “Kau tak seharusnya melakukan ini, tapi
terimakasih atas tanggung jawabmu” Jawab Maurer sembari membuka buku tersebut. “Lihat,
ada pelangi ! Indah sekali !” teriakku sambil menunjuk pelangi yang ada di atas
sana. “Kau suka melihat pelangi ?” tanyanya. “Tentu saja ! Pelangi sangat indah
ketika dilihat pada sore hari” jelasku pada Maurer. “Namun keindahannya hanya
sementara, pelangi akan hilang ketika malam tiba dan kau tidak akan bisa lagi
melihatnya. Karena ketika matahari tenggelam, tidak ada lagi cahaya yang
dibiaskan oleh air hujan.” Tegas Maurer. “Iya , maka dari itu aku tidak suka
malam ! Karena pada malam hari, kita tidak akan bisa melihat pelangi.” Tegasku.
Tiba-tiba Maurer meninggalkanku tanpa berpamitan. Sikapnya padaku
memang tak pernah berubah. Namun aku bersyukur, karena aku bisa berdiri
disampingnya meskipun hanya dalam beberapa menit saja. Itupun sudah mampu
membuatku bahagia.
Dua bulan kemudian, aku sama sekali tidak melihat Maurer di
sekolah. Semenjak saat kami berteduh di bawah pohon, ia tak pernah masuk
sekolah lagi. Bahkan, tak ada kabar apaun dari temannya tentang keadaannya. Rumahnya
pun menjadi sangat sepi. Semua itu membuatku semakin cemas akan apa yang
terjadi padanya. Aku hanya bisa mendoakannya sembari menatap pelangi di langit.
Karena setiap kumelihat pelangi, aku selalu ingat dengannya.
Malam telah tiba. Kegelapan mulai menerpa, cahaya bulan dan bintang
telah menyapa, dan indahnya pelangi telah tiada. Tanpa membuang waktu lagi aku
langsung pergi ke acara pertemuan idola Hyungsik yang diadakan malam ini di
gedung yang tak jauh dari sekolah. Aku berangkat sendiri dengan berjalan kaki
karena aku tak punya uang untuk naik taksi. Lagipula jaraknya juga tidak
terlalu jauh.
Tak kusangka bahwa aku bisa bertemu dengan Hyungsik. Tak pernah
kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan bisa bertemu dengan idolaku yang selama
ini aku banggakan. Tuhan memang adil. Tuhan selalu memberikan hikmah dibalik
setiap kejadian. Meskipun aku tak pernah bisa bersama dengan Maurer, namun aku
bisa bersama dengan Hyungsik. Semua itu cukup untuk menggantikan kesedihanku
dengan kebahagiaan. Saat aku bersama dengan Hyungsik, aku membayangkan betapa
lebih bahagianya aku jika Maurer juga berada disini.
Karena aku terlalu bahagia, aku sampai mengabaikan satu pesan yang
ada di ponselku. Hingga kakakku sampai menelponku. Ia mengatakan bahwa Maurer
sekarang sedang berada di rumah sakit yang tak jauh dari tempatku berada. Mendengar
hal tersebut aku yidak langsung pergi ke rumah sakit. Aku sempat bingung,
apakah aku harus kerumah sakit pada saat itu juga atau menunggu acara itu
sampai selesai. Maurer adalah kakak istimewaku, aku tak mungkin hanya
membiarkannya sakui. Namun aku juga tidak mungkin meninggalkan acara itu. Karena
acara itu bukanlah acara biasa. Acara itu hanya terjadi sekali dalam satu Negara.
Apalagi itu adalah Hyungsik, idolaku semenjak aku kecil.
Ketika acara tersebut telah selesai, aku langsung pergi ke rumah
sakit. Setiba disana aku membuka pesan di ponselku yang dikirimkan satu jam
yang lalu. Aku langsung terkejut karena pesan itu dari Maurer. Ia mengajakku
untuk bertemu di taman pada satu jam yang lalu. Namun aku hanya bisa menyesal
karena tidak mengetahui hal itu dari awal. Air matapun akhirnya menetes
melewati penyesalanku untuk bersama dan bertemu dengannya.
Tak ada satupun orang yang kukenal di rumah sakit itu. Akupun tidak
tau dimana letak kamar Maurer saat itu. Aku terus saja berjalan pelan dengan
penuh cemas melewati kamar demi kamar. Hingga aku sampai pada seorang lelaki
paruh baya, yaitu ayah Maurer bersama kakakku sembari menangis di depan sebuah
kamar yang pintunya terbuka. Aku bisa melihat Maurer terbaring lemah dan tak
sadarkan diri disana.
Aku berniat masuk ke kamar tersebut untuk melihat keadaan Maurer,
namun ayah Maurer menahanku dan memberikan sepucuk surat dari Maurer untukku. Lalu
akupun perlahan membukanya.
“Zea, saat kamu membaca surat ini mungkin kamu sudah tau yang
sebenarnya tentang apa yang terjadi padaku. Aku mengidap penyakit kanker otak
yang sudah stadium akhir. Penyakit itu membuatku tiba-tiba kehilangan
penglihatanku, pendengaranku, keseimbanganku, kemampuanku untuk berbicara,
bahkan ingatanku untuk sementara. Aku tidak ingin kamu melihatku pada keadaan
seperti itu. Sampai pada akhirnya, penyakit itu benar-benar membuatku
kehilangan nyawa untuk selamanya. Sebenarnya dari awal aku sudah menyukaimu,
namun aku selalu menghindar. Karena aku sadar bahwa aku akan segera mati. Kita
tak akan pernah bisa bersama. Kebersamaan kita bagaikan pelangi di malam hari. Untuk
bersamamu bagaikan menanti datangnya pelangi di malam hari. Dan terimakasih
karna kamu selalu memperhatikanku. Jangan pernah melupakanku meski sekarang aku
sudah tidak berada di sampingmu lagi. Aku mencintaimu, Zea. Dari Maurer”
Setelah membaca surat tersebut, aku langsung berlari masuk ke kamar
Maurer dan memeluk jasadnya yang sudah tak bernyawa lagi. Aku menangis
menjadi-jadi. Aku menyesal karena tidak tau tentang penyakitnya selama itu. Apalagi
aku tidak ada di sampingnya saat ia mengalami masa kritisnya. Bahkan pada
saat-saat terakhirnya, aku tidak tau. Hingga pada saatnya, ia benar-benar pergi
meninggalkanku dan dunia. Menyisakan sejuta kenangan indah. Yang indah bagaikan
pelangi. Namun pelangiku sekarang telah tiada. Kehilangan semua cahayanya
karena tertutup oleh kegelapan malam. Dan tak akan pernah kembali lagi untuk
selamanya.