Senin, 03 Juni 2013

Cerpen : Pelangi di Malam Hari (Oleh : Gege Ayu Listya)

                      Pelangi di Malam Hari
                     Dikala sang surya telah menyembunyikan sinarnya, saat senja mulai datng menyapa, ketika langit telah berubah menjadi hitam. Aku berjalan pelan menuju bandara. Daun-daun yang tertiup angin seolah melambai padaku. Mengucapkan selamat tinggal kepada orang tuaku yang akan pergi keluar kota. Rasa cemas dan khawatir menyelimutiku. Berat rasanya untuk melepas mereka pergi. Karena selama ini merekalah yang menjagaku dan kakakku di rumah. Merawat dan mendidikku penuh dengan kasih sayang.
                   Tak lama setelah kami tiba disana, pesawat pun tiba waktunya untuk berangkat. Sejenak aku memeluk orang tuaku karena itu merupakan pelukan untuk yang terakhir kalinya sebelum mereka kembali 2 tahun kemudian. Aku dan kakakku melambaikan tangan kami pada pesawat tersebut. Satu amanat yang tak pernah kulupa dan selalu kuingat dari ibuku yaitu ibuku pernah berkata, “Zea, jagalah kakakmu selama ibu dan ayah pergi ! dan kamu Leda, jagalah juga adikmu ya !” Akupun berjanji akan menjalankan amanat tersebut.
                Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah. Memang hari itu wajahku terlihat murung dan tak seceria biasanya. Karena aku masih memikirkan keadaan orang tuaku yang telah jauh dariku. Aku yang biasanya dimanja, sekarang harus hidup sendiri hanya bersama dengan kakakku. Entah seberapa lama aku melamun pada saat itu hingga tanpa kusadari aku menginjak buku berwarna cokelat milik kakak kelasku yang sedang terjatuh di hadapanku. Aku merasa bersalah dan sangat malu. Apalagi itu adalah buku milik Kak Maurer. Orang yang aku suka semenjak aku berada di kelas X. Ia satu-satunya orang yang mampu membuatku merubah penampilanku yang awalnya sangat kuno menjadi lebih baik. Namun kurasa perasaan itu hanya sia-sia. Karena ia selalu menghindar dariku dan tanpa aku ketahui apa penyebabnya. “Astaga ! Maafkan aku kak Maurer !” ucap maafku padanya. “Tidak masalah, Zea !” jawab Maurer dan langsung pergi meninggalkanku begitu saja. Seperti yang kuduga, ia selalu saja menghindar dariku. Padahal ia tidak tau bahwa aku menyukainya. Yang ia tau aku hanyalah suka terhadap artis Korea tampan dan terkenal yang bernama Hyungsik.
                   Saat pulang sekolah, aku berjalan pulang bersama kakakku. Karena jarak rumahku dengan sekolah tidaklah jauh. Saat itu aku juga bertemu dengan Maurer yang berjalan di depanku. Akupun menghampirinya karena aku ingin mengembalikan selembar kertas yang masih tertinggal dari bukunya ketika terjatuh tadi. Namun sebelum kukembalikan kertas itu, aku sempat membacanya. Dan isinya adalah brosur tentang acara pertemuan idola Hyungsik yang akan diselenggarakan pada 2 bulan yang akan datang. Aku berniat mengikutinya karena acara itu memang hanya satu kali dalam satu Negara. “Kak Maurer” sapaku sembari memberikan kertas miliknya tadi. “Oh kertas ini ? Terimakasih Zea !” jawab Maurer sembari memasukkan kertas tersebut ke dalam tasnya. Dan seperti biasa, ia langsung pergi sambil berlari pelan meninggalkanku dan menaiki minibus yang melintas di depannya. “Zea, mengapa Maurer selalu menghindar darimu ?” tanya kakakku. “Aku tidak tau kak ! Jika aku mempunyai satu saja kesempatan untuk bersamanya, aku akan sangat bahagia. Karna untuk bersamanya sangatlah sulit.” Jawabku. “Sabar Zea ! Mungkin memang belum saatnya.” Ucap kakakku sembari menepuk pundakku dengan maksud untuk menenangkanku.
               Pada keesokan paginya, saat sang surya mulai menampakkan sinarnya, ketika embun pagi membasahi dunia, dikala angin malam telah sirna. Aku berangkat ke sekolah bersama kakak tercintaku. Walaupun aku tau hari itu masih pagi, namun aku sudah berada di kelasku. Hari itu aku berangkat paling awal. Dan masih sangat sedikit temanku yang sudah tiba di sekolah. Di dalam kelas yang berwarna biru itu, aku hanya terdiam merenung sembari memainkan beberapa helai rambutku dengan memutarnya tak berarti. Sebelum tiba di sekolah, aku sempat membeli buku bergambar pelangi yang akan kuberikan kepada Maurer sebagai permintaan maafku padanya. Karena kurasa bukunya telah rusak setelah aku injak kemarin. Aku berharap agar Maurer bersedia menerimanya meskipun buku yang kubeli tak seindah buku miliknya tadi.
                 Sepucuk surat kutulis diantara halaman bukuu tersebut. Aku menuliskan permintaan maafku padanya dan memberinya semangat untuk selalu tersenyum dalam melewati hari demi hari yang melelahkan. Seperti halnya pelangi yang selalu terlihat cerah meskipun pada saat langit mendung. Pelangi menggambarkan keceriaan dan kebahagiaan seseorang setelah mengalami cobaan yang begitu berat. Karena akhir-akhir ini Maurer sering terlihat murung dan wajahnya terlihat pucat.

               Hari itu sekolah berakhir pada sore hari. Hujan turun membasahi bumi dan seluruh isinya. Begitu pun sekolah ini juga ikut basah. Aku mencari tempat untuk berteduh agar aman dari aire hujan. Tanpa kusadari, aku dan Maurer berteduh pada tempat yang sama. Sejenak ia menatapku dan aku memberikan buku tadi untuknya. “Sebagai permintaan maafku padamu, aku ingin mengganti buku ini tak sebagus milikmu, tapi aku harap kau mau menerimanya” ucapku pada Maurer sembari memberikan buku itu padanya. “Kau tak seharusnya melakukan ini, tapi terimakasih atas tanggung jawabmu” Jawab Maurer sembari membuka buku tersebut. “Lihat, ada pelangi ! Indah sekali !” teriakku sambil menunjuk pelangi yang ada di atas sana. “Kau suka melihat pelangi ?” tanyanya. “Tentu saja ! Pelangi sangat indah ketika dilihat pada sore hari” jelasku pada Maurer. “Namun keindahannya hanya sementara, pelangi akan hilang ketika malam tiba dan kau tidak akan bisa lagi melihatnya. Karena ketika matahari tenggelam, tidak ada lagi cahaya yang dibiaskan oleh air hujan.” Tegas Maurer. “Iya , maka dari itu aku tidak suka malam ! Karena pada malam hari, kita tidak akan bisa melihat pelangi.” Tegasku.

              Tiba-tiba Maurer meninggalkanku tanpa berpamitan. Sikapnya padaku memang tak pernah berubah. Namun aku bersyukur, karena aku bisa berdiri disampingnya meskipun hanya dalam beberapa menit saja. Itupun sudah mampu membuatku bahagia.
             Dua bulan kemudian, aku sama sekali tidak melihat Maurer di sekolah. Semenjak saat kami berteduh di bawah pohon, ia tak pernah masuk sekolah lagi. Bahkan, tak ada kabar apaun dari temannya tentang keadaannya. Rumahnya pun menjadi sangat sepi. Semua itu membuatku semakin cemas akan apa yang terjadi padanya. Aku hanya bisa mendoakannya sembari menatap pelangi di langit. Karena setiap kumelihat pelangi, aku selalu ingat dengannya.

            Malam telah tiba. Kegelapan mulai menerpa, cahaya bulan dan bintang telah menyapa, dan indahnya pelangi telah tiada. Tanpa membuang waktu lagi aku langsung pergi ke acara pertemuan idola Hyungsik yang diadakan malam ini di gedung yang tak jauh dari sekolah. Aku berangkat sendiri dengan berjalan kaki karena aku tak punya uang untuk naik taksi. Lagipula jaraknya juga tidak terlalu jauh.

            Tak kusangka bahwa aku bisa bertemu dengan Hyungsik. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan bisa bertemu dengan idolaku yang selama ini aku banggakan. Tuhan memang adil. Tuhan selalu memberikan hikmah dibalik setiap kejadian. Meskipun aku tak pernah bisa bersama dengan Maurer, namun aku bisa bersama dengan Hyungsik. Semua itu cukup untuk menggantikan kesedihanku dengan kebahagiaan. Saat aku bersama dengan Hyungsik, aku membayangkan betapa lebih bahagianya aku jika Maurer juga berada disini.

              Karena aku terlalu bahagia, aku sampai mengabaikan satu pesan yang ada di ponselku. Hingga kakakku sampai menelponku. Ia mengatakan bahwa Maurer sekarang sedang berada di rumah sakit yang tak jauh dari tempatku berada. Mendengar hal tersebut aku yidak langsung pergi ke rumah sakit. Aku sempat bingung, apakah aku harus kerumah sakit pada saat itu juga atau menunggu acara itu sampai selesai. Maurer adalah kakak istimewaku, aku tak mungkin hanya membiarkannya sakui. Namun aku juga tidak mungkin meninggalkan acara itu. Karena acara itu bukanlah acara biasa. Acara itu hanya terjadi sekali dalam satu Negara. Apalagi itu adalah Hyungsik, idolaku semenjak aku kecil.

           Ketika acara tersebut telah selesai, aku langsung pergi ke rumah sakit. Setiba disana aku membuka pesan di ponselku yang dikirimkan satu jam yang lalu. Aku langsung terkejut karena pesan itu dari Maurer. Ia mengajakku untuk bertemu di taman pada satu jam yang lalu. Namun aku hanya bisa menyesal karena tidak mengetahui hal itu dari awal. Air matapun akhirnya menetes melewati penyesalanku untuk bersama dan bertemu dengannya.

            Tak ada satupun orang yang kukenal di rumah sakit itu. Akupun tidak tau dimana letak kamar Maurer saat itu. Aku terus saja berjalan pelan dengan penuh cemas melewati kamar demi kamar. Hingga aku sampai pada seorang lelaki paruh baya, yaitu ayah Maurer bersama kakakku sembari menangis di depan sebuah kamar yang pintunya terbuka. Aku bisa melihat Maurer terbaring lemah dan tak sadarkan diri disana.

             Aku berniat masuk ke kamar tersebut untuk melihat keadaan Maurer, namun ayah Maurer menahanku dan memberikan sepucuk surat dari Maurer untukku. Lalu akupun perlahan membukanya.
“Zea, saat kamu membaca surat ini mungkin kamu sudah tau yang sebenarnya tentang apa yang terjadi padaku. Aku mengidap penyakit kanker otak yang sudah stadium akhir. Penyakit itu membuatku tiba-tiba kehilangan penglihatanku, pendengaranku, keseimbanganku, kemampuanku untuk berbicara, bahkan ingatanku untuk sementara. Aku tidak ingin kamu melihatku pada keadaan seperti itu. Sampai pada akhirnya, penyakit itu benar-benar membuatku kehilangan nyawa untuk selamanya. Sebenarnya dari awal aku sudah menyukaimu, namun aku selalu menghindar. Karena aku sadar bahwa aku akan segera mati. Kita tak akan pernah bisa bersama. Kebersamaan kita bagaikan pelangi di malam hari. Untuk bersamamu bagaikan menanti datangnya pelangi di malam hari. Dan terimakasih karna kamu selalu memperhatikanku. Jangan pernah melupakanku meski sekarang aku sudah tidak berada di sampingmu lagi. Aku mencintaimu, Zea. Dari Maurer”

           Setelah membaca surat tersebut, aku langsung berlari masuk ke kamar Maurer dan memeluk jasadnya yang sudah tak bernyawa lagi. Aku menangis menjadi-jadi. Aku menyesal karena tidak tau tentang penyakitnya selama itu. Apalagi aku tidak ada di sampingnya saat ia mengalami masa kritisnya. Bahkan pada saat-saat terakhirnya, aku tidak tau. Hingga pada saatnya, ia benar-benar pergi meninggalkanku dan dunia. Menyisakan sejuta kenangan indah. Yang indah bagaikan pelangi. Namun pelangiku sekarang telah tiada. Kehilangan semua cahayanya karena tertutup oleh kegelapan malam. Dan tak akan pernah kembali lagi untuk selamanya.